Oleh : Rusydi AM
Pendahuluan
Kemujmalan al-Qur’an sebagai isyarat keuniversalan dan dasar bagi elastisitasnya, memberi peluang kepada mufassir untuk menafsirkan al-Qur’an, baik secara tekstual, maupun kontekstual. Hal ini menyebabkan munculnya kreasi mufassir yang beraneka ragam dan bervariasi. Ditinjau dari segi metode penafsirannya, lahir tafsir ijmali, tahlili, muqaran dan mawdhu’i. Dilihat dari latar belakang disiplin ilmu dari mufassir, lahirlah berbagai corak tafsir, seperti tafsir falsafi, tafsir fiqhi, tafsir shufi, tafsir ilmi, dan adabi ijtima’i.
Urgensi ‘Ulum al-Qur’an Dalam Penafsiran
Sebelum
membahas manhaj pemahaman dan penafsiran al-Qur’an, ada baiknya
terlebih dahulu dikemukakan pengertian tafsir itu sendiri, yaitu :
علم يفهم به كتاب الله المنزل على نبيه محمد صلى الله عليه وسلم وبيان معانيه و استخراج احكامه وحكمه
(Suatu
disiplin ilmu untuk memahami kitabullah yang diturunkan kepada
Nabi-Nya Muhammad Saw., menjelaskan makna-maknanya serta mengeluarkan
hukum-hukum dan hikmah-hikmah yang terkandung di dalamnya).
Sebagai
sumber informasi, al-Qur’an mengajarkan banyak hal kepada manusia;
mulai dari persoalan keyakinan, moral, prinsip-prinsip ibadah dan
mu’amalah sampai kepada asas-asas ilmu pengetahuan. Lalu, pertanyaan
yang muncul adalah, bagaimana umat Islam dapat memahami al-Qur’an?
Selanjutnya, mampukah al-Qur’an menjawab tuntutan dan tantangan yang
timbul dalam masyarakat sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi?
Jawabannya
adalah bahwa untuk memahami, menggali hukum dan hikmah yang terkandung
dalam al-Qur’an tentu harus ada alat yang dipakai. Sebagai pegangan dan
petunjuk bagi umat Islam dalam kehidupan, al-Qur’an tentu mampu
menjawab tantangan zaman sebagai dampak dari kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi tersebut. Dilihat dari kandungannya, al-Qur’an berisi
semua hal yang dibutuhkan oleh manusia, namun al-Qur’an mengemukakan
segala sesuatu secara global, bukan secara rinci.
Oleh
karena keglobalan al-Qur’an, ditambah dengan perbedaan dan
perkembangan situasi dan kondisi seperti tersebut di atas, maka
al-Qur’an perlu ditafsirkan. Untuk menafsirkan al-Qur’an diperlukan
beberapa ilmu bantu, antara lain ‘Ulum al-Qur’an. Ilmu ini sampai kini
tetap dipelajari sebagai alat untuk memahami dan menafsirkan dengan
tepat serta menggali kandungan dan pesan al-Qur’an. Ulum al-Qur’an
–sebagaimana halnya sebuah disiplin ilmu— juga berkembang pesat dari
satu generasi ke generasi berikutnya.
Dalam kajian Ulum al-Qur’an ada satu aspek pembahasan yang disebut dengan I’jâz al-Qur’an,
yaitu melemahkan (menampakkan kelemahan) bangsa Arab dan non Arab
untuk menandingi al-Qur’an, walaupun Allah telah mengemukakan tantangan
kepada mereka untuk menulis karya yang setara dengan al-Qur’an.
Tantangan al-Qur’an itu malah bertingkat, yaitu diawali dengan
menandingi seluruh al-Qur’an, kemudian karena mereka tidak mampu,
tantangan diturunkan menjadi sepuluh surat saja, bahkan terakhir,
diturunkan lagi, yaitu membuat karya tulis yang setara dengan satu
surat saja dari al-Qur’an. Namun, seperti yang diinformasikan al-Qur’an
sendiri dan sesuai fakta dan realitas, manusia belum mampu dan tidak
akan pernah mampu untuk itu (Q.S. 2 : 23-24). Salah satu aspek I’jâz al-Qur’an itu adalah al-I’jâz al-‘Ilmi (kemukjizatan ilmiah al-Qur’an).
Al-Qur’an bukanlah buku ilmiah atau tidak sama dengan karangan ilmiah, karena karangan ilmiah sifatnya relatif (nisbi),
sedangkan al-Qur’an bersifat absolut (mengandung kebenaran mutlak).
Oleh sebab itu, ayat-ayat al-Qur’an memuat isyarat-isyarat ilmiah yang
cukup komprehensif dalam berbagai cabang dan disiplin ilmu pengetahuan,
baik ilmu-ilmu pengetahuan sosial, maupun ilmu pengetahuan alam.
Semuanya itu menunjukkan keberadaan al-Qur’an sebagai mukjizat terbesar
dan di sisi lain membuktikan eksistensinya sebagai sumber ilmu
pengetahuan (mashdar al-‘ulûm/recourses of knowledge and science),
walaupun sewaktu al-Qur’an diturunkan, zaman masih jauh dari kemajuan
ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, tidak mengherankan bilamana
isyarat-isyarat ilmiah al-Qur’an itu belum diungkap oleh kaum Muslimin
kala itu. Baru pada masa berikutnya kaum Muslimin berusaha untuk
menemukannya, bahkan pada zaman akhir-akhir ini sudah banyak
isyarat-isyarat ilmiah yang terdapat dalam al-Qur’an yang telah
terbukti kebenarannya oleh para ilmuan.
Sebagai
contoh adalah pada mulanya orang berkeyakinan bahwa perkawinan itu
hanya berlangsung pada dua jenis, yaitu manusia dan hewan. Ternyata
kemudian, ilmu pengetahuan moderen telah menemukan teori bahwa
perkawinan juga terjadi pada tumbuh-tumbuhan. Perkawinan pada
tumbuh-tumbuhan itu ada yang zati dan ada yang khalti,
maksudnya ada tumbuh-tumbuhan yang bunganya telah mengandung organ
jantan dan betina dan ada pula tumbuh-tumbuhan yang organ jantannya
terpisah dari organ betinanya seperti pohon korma, sehingga
perkawinannya melalui perpindahan, dimana sarananya antara lain angin.
Apa yang ditemukan oleh ilmuan kontemporer ini telah diungkap
al-Qur’an dalam surat al-Hijr ayat 22 :
وَأَرْسَلْنَا الرِّيَاحَ لَوَاقِحَ فَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً
فَأَسْقَيْنَاكُمُوهُ فَأَسْقَيْنَاكُمُوهُ وَمَا أَنْتُمْ لَهُ
بِخَازِنِينَ
(Dan
Kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan (tumbuh-tumbuhan) dan
Kami turunkan air hujan dari langit, lalu Kami beri minum kamu dengan
air itu, dan sekali-kali bukanlah kamu yang menyimpannya).
Al-Qur’an
juga berbicara panjang lebar tentang manusia. Salah satu yang
dibahasnya adalah tentang embriologi serta tahapan-tahapannya hingga
terciptanya seorang manusia.
Hal itu dapat dilihat dalam surat al-Thariq ayat 5-7 :
َفلْيَنْظُرِ الْإِنْسَانُ مِمَّ خُلِقَ. خُلِقَ مِنْ مَاءٍ دَافِقٍ. يَخْرُجُ مِنْ بَيْنِ الصُّلْبِ وَالتَّرَائِبِ
(Maka
hendaklah manusia memperhatikan dari apa dia diciptakan. Dia
diciptakan dari air (mani) yang terpancar, yang keluar dari antara
tulang punggung (sulbi) dan tulang dada).
Selanjutnya surat al-Hajj ayat 5 :
يَاأَيُّهَا
النَّاسُ إِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِنَ الْبَعْثِ فَإِنَّا
خَلَقْنَاكُمْ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ مِنْ نُطْفَةٍ ثُمَّ مِنْ عَلَقَةٍ
ثُمَّ مِنْ مُضْغَةٍ مُخَلَّقَةٍ وَغَيْرِ مُخَلَّقَةٍ لِنُبَيِّنَ لَكُمْ
وَنُقِرُّ فِي الْأَرْحَامِ مَا نَشَاءُ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى ثُمَّ
نُخْرِجُكُمْ طِفْلًا
Wahai
manusia ! Jika kamu meragukan (hari) kebangkitan, maka sesungguhnya
Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani,
kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang
sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada
kamu; dan Kami tetapkan dalam rahim menurut kehendak Kami sampai waktu
yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi).
Dalam
hal ini, informasi al-Qur’an tersebut sejalan dengan penemuan ilmiah
yang mengatakan bahwa pancaran mani dari suami ketika berhubungan
dengan isterinya mengandung dua ratus juta benih manusia, sedangkan
yang berhasil bertemu dengan ovum hanya satu. Itulah yang dimaksud
al-Qur’an dengan “nuthfah dari mani yang terpancar”.
Selanjutnya,
al-Qur’an juga berbicara tentang pentingnya oksigen untuk pernafasan
manusia seperti diungkap surat al-An’am : 125 :
فَمَنْ
يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يَهدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِوَمَنْ
يُرِدْ أَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا
يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ كَذَلِكَ يَجْعَلُ اللَّهُ الرِّجْسَ عَلَى
الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ
(Barang
siapa dikehendaki Allah akan mendapat hidayah (petunjuk), Dia akan
membukakan dadanya untuk (menerima) Islam. Dan barang siapa
dikehendaki-Nya menjadi sesat, Dia jadikan dadanya sempit dan sesak, seakan-akan dia (sedang) mendaki ke langit. Demikianlah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman).
Oksigen
akan berkurang pada lapisan udara yang tinggi. Semuanya itu telah
dibuktikan oleh ilmu pengetahuan manusia, yaitu sejak manusia mampu
menembus ruang angkasa dengan pesawat udara. Penelitian ilmu
pengetahuan telah sampai pada kesimpulan bahwa di angkasa oksigen itu
berkurang. Oleh sebab itu, manakala seorang penerbang meluncur di
angkasa pada ketinggian 30.000 kaki, dadanya akan terasa sesak, sulit
bernafas dan karenanya si penerbang itu harus memakai oksigen buatan.
Itulah
beberapa contoh penemuan ilmiah dalam rangka pembuktian terhadap
kemukjizatan ilmiah al-Qur’an. Kemukjizatan ilmiah itu sendiri pada
hakikatnya terletak pada dorongan al-Qur’an kepada umatnya untuk
berfikir dan meneliti. Sejalan dengan itu, Allah telah membukakan
pintu ilmu pengetahuan supaya mereka memasuki gerbang ilmu melalui
membaca, meneliti dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari sebagai
usaha membumikan konsep al-Qur’an.
Berdasarkan uraian di atas nampak bahwa ulum al-Qur’an sangat diperlukan oleh para mufassir
yang berupaya memberikan panduan dan bimbingan kepada umat melalui
penafsiran ayat-ayat al-Qur’an. Ulum al-Qur’an kelihatannya sampai kini
tetap diperlukan dalam kehidupan manusia, yaitu untuk memenuhi
kebutuhan mereka sendiri, baik secara individu, berkeluarga dan bahkan
bermasyarakat.
Akhirnya
dapat disimpulkan bahwa bertambah tinggi kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi, bertambah modern peradaban manusia, dengan sendirinya akan
bertambah pula kebutuhan manusia terhadap pedoman dalam hidup. Pedoman
itu terdapat dalam al-Qur’an. Hal itu berarti bahwa kebutuhan akan
al-Qur’an juga semakin nyata, sementara di sisi lain, al-Qur’an
menyajikan kebutuhan itu hanya dalam bentuk garis-garis besar yang
memerlukan penggalian lebih lanjut. Penggalian lebih rinci dan
komprehensif terhadap al-Qur’an tersebut memerlukan ‘Ulum al-Qur’an
sebagai pisau analisis. Dengan begitu, berarti bertambah pula kebutuhan
terhadap ‘Ulum al-Qur’an, sehingga ia semakin eksis dan perlu
didalami.
Manhaj Menafsirkan al-Qur’an
Untuk pemahaman yang tepat, ada beberapa hal yang mesti diperhatikan atau dipedomani, yang dapat dikatakan sebagai manhaj atau jalan untuk memahami al-Qur’an. Adapun manhaj tersebut, adalah :
Pertama,
kaidah bahasa Arab, hal ini karena al-Qur’an diturunkan Allah dalam
bahasa Arab. Kaidah bahasa Arab itu meliputi minimal tiga aspek, yaitu
kaidah nahwu, sharf, dan balaghah. Aspek nahwu
berkaitan dengan fungsi kata dalam kalimat. Bila salah meletakkan
fungsi suatu kata dalam kalimat, maka akan salah pula pemahaman kita
terhadap kalimat itu. Misalnya firman Allah “ Innamâ yakhsya Allâh min ‘ibâdihi al-‘ulamâ’”
( Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya
adalah ‘ulama). Dalam ayat di atas, Allah berfungsi sebagai obyek,
sedangkan al-‘ulama sebagai subyek. Akan tetapi, kalau salah memfungsikan, dalam arti Allah difungsikan sebagai subyek (fâ’il), sementara al-‘ulama sebagai obyek (maf’ûl bih), maka maksud ayat adalah “ sesungguhnya hanya Allah-lah yang takut kepada para ulama di antara hamba-hamba-Nya”. Bila begitu pemahamannya, maka jelas suatu kekeliruan. Aspek sharf
adalah hal-hal yang berhubungan dengan perobahan bentuk kata. Dalam
bahasa Arab, perobahan kata, baik berupa penambahan huruf, pengurangan,
dan pertukaran letak huruf, berpengaruh kepada makna kata tersebut.
Maka untuk memahami ayat al-Qur’an dengan tepat, seseorang mesti
mengetahui perobahan tersebut. Sedangkan balaghah adalah aspek yang
berhubungan dengan ketinggian sastra al-Qur’an, sehingga menarik, bahkan
mengandung keindahan dalam susunan dan gaya bahasanya. Jadi,
penguasaan bahasa Arab yang baik sangat diperlukan bilamana seseorang
memahami al-Qur’an dengan benar, apalagi kalau ingin lebih dari itu,
yaitu menafsirkannya. Adalah sangat naif bila seseorang menggali
kandungan al-Qur’an secara langsung, padahal ia sendiri tidak mengerti
bahasa Arab.
Kedua, prinsip bahwa sebagian ayat al-Qur’an menafsirkan sebagian yang lain ( al-Qur’an yufassiru ba’dhuhu ba’dhan
). Suatu masalah dikemukakan secara global pada suatu ayat, sementara
pada ayat lain dijelaskan secara rinci. Atau suatu ayat berbicara
tentang sesuatu secara muthlaq, pada hal di ayat lain berbicara mengenai masalah yang sama secara muqayyad.
Begitu seterusnya. Oleh sebab itu, suatu ayat yang berbicara tentang
suatu masalah tidak bisa dipahami secara final (muthlak), tanpa
menghubungkannya dengan ayat lain yang berbicara tentang masalah yang
sama. Misalnya ayat 43 dari surat al-Nisa’ “ yâ ayyuhâ al-ladzina âmanû la taqrabû al-shalâta wa antum sukara hatta ta’lamu mâ taqûlûn”
(Wahai orang-orang yang beriman..! Janganlah kamu mendekati shalat,
ketika kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu sadar apa yang kamu
ucapkan).
Bila
ayat ini dipahami secara parsial saja, tanpa menghubungkannya dengan
ayat lain, akan dipahami bahwa meminum minuman yang memabukkan hanya
diharamkan di waktu akan shalat saja, pada hal, di ayat 90 surat
al-Maidah yang turun setelah ayat 43 surat al-Nisa’ di atas
ditegaskan keharaman minuman keras secara total “ Wahai orang-orang
yang beriman ! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, ( berkurban untuk )
berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji
dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu
agar kamu beruntung”.
Ketiga, memperhatikan munâsabah, dalam hal ini sebagai salah satu bagian yang tidak kalah pentingnya dari ‘ulum al-Qur’an. Secara etimologi, munâsabah
artinya saling kedekatan makna, saling berhubungan atau berkorelasi.
Sedangkan secara terminologis, artinya adanya satu bentuk hubungan
antara satu surat dengan berikutnya, hubungan antara satu ayat dengan
berikutnya, begitu pun adanya hubungan antara satu kalimat dengan
berikutnya pada ayat yang sama. Munâsabah antara satu surat
dengan surat sebelumnya antara lain berfungsi untuk menjelaskan
kandungan surat sebelumnya, baik dalam bentuk merinci apa yang
dijelaskan secara global sebelumnya, menjelaskan maksudnya, ataupun
menguraikan apa yang dijelaskan secara singkat sebelumnya. Misalnya
dalam mengungkap hubungan antara surat al-Fâtihah dengan surat al-Baqarah. Akhir surat al-Fâtihah berbicara tentang permohonan kepada Allah untuk ditunjuki “jalan yang lurus” (al-shirâth al-mustaqîm), sementara di awal surat al-Baqarah Allah informasikan bahwa al-kitâb (dalam hal ini maksunya al-Quran) adalah petunjuk bagi orang-orang bertaqwa. Jadi al-shirâth al-mustaqîm (jalan yang lurus) itu adalah al-Qur’an al-Karim.
Selanjutnya munâsabah (hubungan) antara satu ayat dengan sebelumnya, di antaranya ada yang bersifat jelas dan ada pula yang bersifat tidak jelas. Munâsabah
yang bersifat jelas terjadi karena adanya suatu masalah yang tidak
tuntas dijelaskan dalam satu ayat, kemudian uraiannya dituntaskan dalam
ayat-ayat berikutnya, baik itu dalam bentuk penekanan (ta’kîd) dan penafsiran ataupun keberpalingan dan penguatan (tasydîd). Misalnya hubungan antara ayat ke 2 dan ke 3 dari surat al-Baqarah. Ayat ke 2 “ dzâlika al-kitâbu la raiba fîh hudan li al-muttaqîn”
(Kitab (al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi
mereka yang bertaqwa). Dalam ayat ke 2 ini, Allah informasikan bahwa
al-Qur’an itu petunjuk untuk mereka yang bertaqwa. Siapa saja yang
tergolong kepada orang-orang yang bertaqwa itu dijelaskan Allah dalam
ayat berikutnya : “al-dzina yu’minuna bi al-ghaib, wa yuqimuna al-shalata wa mimma razaqnahum yunfiqun”.
Identitas orang-orang bertaqwa itu adalah beriman kepada yang ghaib,
menegakkan shalat, dan menginfakkan sebagian rezki yang diberikan Allah
kepada mereka.
Hubungan
antara satu kalimat dengan kalimat sebelumnya juga dalam rangka
menjelaskan suatu masalah yang telah disebutkan pada ayat sebelumnya,
namun belum tuntas. Misalnya surat al-Baqarah ayat 189 “yas-alûnaka ‘an al-ahillah, qul hia mawâgîtu li al-nâs wa al-haj” (Mereka
bertanya kepadamu (Muhammad) tentang bulan sabit. Katakanlah, “itu
adalah (penunjuk) waktu bagi manusia dan (ibadah) haji). Jadi, pada
kalimat pertama informasi kalau ada pertanyaan umat kepada Nabi tentang
bulan sabit, maka pada kalimat kedua terdapat jawaban yang bisa
dikemukakan Nabi tentang manfaat bulan sabit itu, yaitu sebagai
penunjuk waktu bagi manusia dan pedoman untuk melaksanakan ibadah
haji.
Berangkat dari adanya munâsabah
seperti dijelaskan di atas, maka susunan surat dan ayat dalam mushaf
al-Qur’an seperti keadaannya sekarang, di mana tidak tersusun
berdasarkan kronologis turunnya itu berdasarkan tauqifiy Tauqîfiy artinya,
bahwa susunan ayat-ayat al-Qur’an itu ditentukan langsung oleh Allah
dengan memberikan bimbingan kepada Nabi Muhammad Saw. melalui Malaikat
Jibril. Namun demikian, khusus berkenaan dengan susunan surat-surat,
masih terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Bahkan juga,
di antara kritik yang dilontarkan –khususnya oleh sebagian
orientalis—terhadap al-Qur’an adalah berkenaan dengan susunan
ayat-ayat dan surat-suratnya yang dianggap tidak sistematis. Tidak
jarang ditemukan uraiannya tentang suatu masalah serta merta berpindah
ke uraian masalah lain, sedangkan masalah sebelumnya itu belum tuntas
diuraikan. Di samping itu, banyak pula suatu uraian muncul tanpa ada
kaitannya dengan uraian sebelumnya. Keyakinan akan ke – tauqîfi-an
sistematika al-Qur’an itulah yang memotivasi para ulama untuk berusaha
menangkap hikmah dan rahasia yang ada di balik susunan tersebut.
DAFTAR BACAAN
Al-Qur’an al-Karim
Al-‘Aridh, Ali Hasan, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Penerjemah Ahmad Akrom, Judul asli: Tarikh ‘Ilm al-Tafsir wa manahij al-Mufassirin, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994
Fayad, Abd. Al-Wahhab Abd. Al-Wahhab, Al-Dakhil Fiy Tafsir al-Qur’an al-Karim, Kairo: Mathba’ah Hissan, 1978
————–, Al-Tafsir wa al-Mufassirun, Kairo: Dar al-Kutub al-Haditsah, 1961
Shihab, Muhammad Quraish, Tafsir al-Qur’an al-Karim, Jakarta : Pustaka Hidayah, 1997
————–, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1992
Al-Qaththan, Manna’ Khalil, Mabahits Fiy ‘Ulum al-Qur’an, Beirut: Muassasah al-Risalah, 1981
Al-Zarqani, Muhammad Abd al-‘Azhim, Manahil al-‘Irfan Fiy ‘Ulum al-Qur’an, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1988
Al-Zarkasyi, Badr al-Din Muhammad bin Abdullah, Al-Burhan Fiy ‘Ulum al-Qur’an, Beirut: Dar al-Fikr, tt.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar